Kebun Binatang Manusia: Rasisme di Eropa

Kebun Binatang Manusia: Rasisme di Eropa – Sejarah dunia adalah histori rasisme. Keyakinan itu dipegang oleh banyak pemikir berdasarkan analisis perilaku tak manusiawi orang-orang kulit putih di era lampau pada orang-orang kulit berwarna.

Perbudakan adalah manifestasinya yang paling umum. Contoh lain, yang bisa saja yang belum diketahui orang-orang, adalah kebun binatang manusia.

Kebun Binatang Manusia: Rasisme di Eropa

“Human zoo” adalah pertunjukan anggota suku asli Afrika, Asia, dan Amerika Selatan di didalam sebuah kandang, mestinya kebun binatang, yang sempat populer di Eropa dan Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Antropolog Shoshi Parks menulis untuk Timeline perihal fenomena ini. Ia menyebut asal-usulnya berangkat berasal dari kelahiran pertunjukan sirkus di London pada 1770-an. Sirkus tidak hanya menunjukkan kemampuan atletis atau hewan eksotis, namun terhitung orang-orang aneh.

Konsep “aneh” didalam kepala orang Eropa terhitung berkembang. Tidak hanya untuk mereka yang lahir bersama kondisi fisik tidak wajar. Tapi terhitung suku-suku asli berasal dari luar Benua Biru bersama warna kulit, kebudayaan, dan jenis hidup yang berbeda.

Ideologi berikut cocok bersama rasisme yang menempel pada proyek kolonialisme Eropa. Kebun binatang manusia adalah etalase untuk memperlihatkan klaim bahwa strata orang kulit putih (penjajah) lebih tinggi dan juga lebih beradab dibanding orang kulit berwarna (terjajah) yang “primitif”. https://gembalapoker.biz/

  • Dalih “Pertunjukan Budaya Asing”

Nigel Rothfels didalam bukunya, Savages and Beasts: The Birth of Modern Zoo (2008), mengungkapkan pelopor kebun binatang manusia adalah Carl Hagenbeck, wirausahawan binatang eksotis asal Jerman.

Hagenbeck miliki reputasi bagus berkat kepiawaian memperoleh binatang liar di selama pertengahan 1800-an. Kebun binatang di Eropa banyak yang disuplai oleh hasil buruannya.

Pada suatu hari, ia dianjurkan temannya untuk membawa dan juga orang suku asli yang jelas soal binatang eksotis. Hagenbeck menyambutnya sebagai inspirasi brilian. Ia lantas membawa dan juga orang suku Sami asal Skandinavia bersama rusa kutub Utara yang hendak ia pamerkan.

Hagenbeck menyulap sebagian kecil lahannya, persis layaknya daerah tinggal orang Sami, terhitung rumah tradisional dan aksesories pelengkapnya. Orang-orang Sami dibiarkan hidup sebagaimana mereka biasa menjalankan kegiatan harian di daerah asal, and ritual khas mereka.

Selain binatang eksotis, orang-orang Sami ini langsung jadi daya tarik yang luar biasa bagi warga Jerman yang belum dulu lihat orang “primitif”. Hagenbeck mengklaimnya sebagai pertunjukan kebudayaan asing.

Kebun Binatang Manusia: Rasisme di Eropa
  • Hasil Perkawinan Rasisme & Imperialisme Baru

Seiring membludaknya penonton pertunjukan Hagenbeck, kapitalis Eropa lain dambakan terhitung kecipratan untung. Upaya untuk membikin kebun binatang manusia tandingan menjadi nampak pada tahun 1830-1840-an. Namun popularitasnya memuncak sejak 1870—era Imperialisme Baru (New Imperialism).

Kebun binatang manusia makin lama sering dipertunjukkan di Paris, Hamburg, Berlin dan London. Juga di Barcelona, Milan, New York dan kota-kota besar di Eropa dan Amerika Serikat.

Hagenbeck membawa orang-orang suku asli Samoa berasal dari kawasan Polinesia, suku Nubia berasal dari selatan Mesir, orang Inuit yang tinggal di kawasan Antartika, dan manusia-manusia unik berasal dari berbagai belahan dunia yang baru dijumpai orang Eropa.

Pesaing Hagenbeck menunjukkan kebun binatang yang berisi manusia asli Madagaskar, Senegal, hingga Suriname. Ada pula yang membawa orang-orang pribumi berasal dari lokasi Asia, khususnya Srilanka, India, dan suku asli di Filipina.

Amerika Tengah dan Selatan, kawasan yang pertama kali dieksplorasi para penjelajah Eropa, tak luput berasal dari bisnis ini. Orang suku asli di Cile hingga ke Puerto Rico diboyong untuk dipamerkan di “world fair” yang diadakan di Saint Louis, AS, hingga ke Antwerp, Belgia.

  • Komunis & Pendeta Satu Suara: Menolak

Sekali lagi, di era dikala rasisme dan imperialisme bergandengan mesra, praktek berikut tidak diakui sebagai sesuatu yang bermasalah. Tapi, bukan bermakna tidak ada yang mengkritiknya. Contohnya ada pada pertunjukan tahun 1931 di Paris yang menyedot 34 juta orang selama enam bulan.

Partai Komunis Perancis mengadakan pertunjukan tandingan bersama judul “Apa yang Sebenarnya Terjadi di di Negeri Jajahan”. Penontonnya lebih sedikit, namun pesannya jelas: kebun binatang manusia adalah perbudakan didalam bentuk lain.

Sejumlah pendeta kulit hitam di New York terhitung menentang pertunjukan manusia Afrika di Kebun Binatang Bronx. Pengelola kebun binatang menampilkan anggota suku asli Kongo bernama Ota Benga. Benga satu kandang bersama orang utan bernama Dojong dan seekor burung beo, tajuknya “The Missing Link”.

Pertunjukan itu, kata para pendeta, melukai hati mereka gara-gara jelas-jelas menyiratkan bahwa Benga dan orang kulit hitam lain adalah manusia yang belum selesai berevolusi. Sayangnya, suara mereka minoritas. Benga selamanya menyebabkan lonjakan pengunjung, demikianlah lapor New York Times.

Merujuk lagi ke catatan Shoshi Parks, perlakuan tidak manusiawi udah diterima para anggora suku asli yang dibawa ke Eropa atau Amerika sejak pertemuan pertama. Ada yang dibawa paksa, ada pula yang ditipu bersama janji pendidikan dan kehidupan yang lebih baik.

  • Direndahkan Secara Sistematis

Beberapa ada yang turut penjelajah secara sukarela, atau dipaksa kondisi ekonomi. Salah satu contohnya ialah Theodor Wonja Michaels, narasumber utama Annika Zeitler didalam laporannya untuk Deutsche Welle pada awal 2017.

Pada akhir abad ke-19, Wonja dan keluarganya bersedia ubah berasal dari Kamerun ke Eropa untuk mencari pekerjaan yang layak. Sayangnya, satu-satunya bisnis yang mau menyewa tenaga mereka adalah pengelola kebun binatang manusia.

Zeitler mengatakan bahwa entrepreneur layaknya Hagenbeck berkilah bahwa bisnis kebun binatang manusia ini adalah kesempatan orang suku asli untuk jalan-jalan keliling dunia.

Kata-kata manis ini ia sebut sebagai ilusi belaka. Orang-orang berasal dari suku asli, entah dipaksa maupun sukarela, pada akhirnya selamanya berakhir sebagai komoditas. Wonja dan keluarganya, misalnya, mau dijadikan objek tontonan, gara-gara rasisme mengakibatkan mereka ada problem mendapat pekerjaan yang layak.

Mereka diperlakukan bak buruh kontrak yang akan ditendang kecuali udah tidak diperlukan lagi jasanya. Nasib di luar kebun binatang jauh lebih keras sekaligus tidak menentu. Sebagai anggota suku asli non-kulit putih, mereka ada problem untuk menyesuaikan diri bersama peradaban modern ala Barat.

Kondisi kesehatan mereka terhitung memprihatinkan. Saking buruknya, banyak yang meninggal gara-gara sakit keras selama perjalanan Mengenakan kapal. Lainnya meregang nyawa sementara baru sebagian bulan atau tahun dieksploitasi di Eropa atau Amerika.

  • Kisah Paling Sedih Ota Benga

Shoshi Parks memperlihatkan kisah paling sedih adalah yang dialami oleh Ota Benga. Orang yang membawanya ke AS adalah misionaris Samuel Phill Verner. Benga ditipu bersama janji akan disekolahkan. Namun, sesungguhnya Verner hanya dambakan memeras keuntungan berasal dari Benga.

Kabar keberhasilan Verner menyebar bersama cepat. Ia lantas disewa pengelola kebun binatang dan pertunjukan untuk membawa Benga-Benga lain berasal dari tanah Afrika. Kekayaannya berlipat bersama segera, sementara Benga kian diperlakukan secara semena-mena.

Pada suatu ketika, Benga sempat diminta untuk mengikir giginya menjadi tajam—selayaknya gigi binatang buas.

Benga kemudian menjadi objek tontonan paling terkenal di antara bagian suku asli lain. Ia tidak cuma dipamerkan di Saint Louis, namun dibawa keliling kota-kota besar lain.

Benga dikapitalisasi Verner hingga tahun 1906. Selanjutnya, ia diserahkan ke pihak Kebun Binatang Bronx di New York. Sikap kontra dari para pendeta memicu ia dinonaktifkan dan dipindahkan ke panti yatim piatu.

Benga tak pernah ulang ke Kongo. Pada 1916, setelah lebih dari satu dekade tinggal di Negeri Paman Sam, Benga bunuh diri dengan sepucuk pistol. Usianya pas itu baru 32 tahun.

Popularitas kebun binatang manusia tetap terjaga hingga masa Perang Dunia II. Faktor mutlak yang berperan menghapus praktek kebun binatang manusia adalah dekolonialisasi negara jajahan dan menjamurnya organisasi-organisasi kemanusiaan berskala international sejak pertengahan abad ke-20.

Shosi menyatakan faktor lain: televisi. Kehadiran kotak ajaib secara efisien mampu mengenalkan dunia beserta manusia dan kebudayaannya ke masyarakat di benua Eropa dan Amerika Utara.

Dampaknya, mengerti Shoshi, adalah berkurangnya rasa penasaran orang kulit putih atas hal-hal “primitif” dan “eksotis”. Efeknya lanjutannya, pengunjung pertunjukan kebun binatang manusia kian sepi. Apalagi suara aktivis anti-rasisme jadi mengencang. Bisnis rasis itu pun akhirnya kolaps dengan sendirinya.